
“SEJARAH KLENTENG TjO SOE KONG”
(Oleh : Zakiyatun Nufus, dkk) - XI IPS 3
Terkadang banyak tempat – tempat bersejarah yang kurang di ketahui oleh banyak orang. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan penelitian tempat sejarah ini agar orang lain lebih tau mengenai situs – situs sejararah di sekitar daerah tempat tinggal kita.
Dipilihnya objek Vihara Tjo Soe Kong ini karena untuk lebih mengetahui lebih jelas mengenai sejarah dari bangunan tersebut. Mulai dari biografi pendiri dan bahkan sebuah bukti nyata bahwa Vihara Tjo Soe Kong sudah berumur ratusan tahun yaitu ketika Gunung Krakatau Meletus pada tahun 1883, para penduduk yang tinggal di sekitar Vihara mengungsi ke dalam Vihara dan semua penduduk yang mengungsi selamat dari bencana tersebut.
Hal ini yang membuat kami tertarik untuk meneliti lebih dalam dan mencari sumber yang lebih luas mengenai Vihara Tjo Soe Kong ini.
A. Sejarah Berdirinya Klenteng Tjo Soe Kong
Seseorang yang bernama Tan Ciau Eng, beliau dikenal suka menolong rakyat miskin dan juga sering mengobati orang sakit. karena sifat dermawannya, ia lebih dikenal dengan nama Tjo Soe KongMaka tidak heran apabila beliau disukai dan dihormati serta dikenal orang dimana-mana.
Nama Tjo Soe Kong dipuja dan dihormati hingga kini, berawal dari ketika beliau mengobati ibu suri dari Kaisar dari zaman Ahala Song yang menderita penyakit kanker payudara. Karena beliau berhasil mengobati ibu Suri, sehingga beliau diberi hadiah yang besar oleh Kaisar, namun beliau tidak mau menerimanya bahkan hadiah tersebut beliau bagikan kepada rakyat yang membutuhkan dan disumbangkan untuk pembangunan dan perbaikan bio-bio yang digunakan untuk tempat berlindung para pendeta kala itu. Disamping itu, sebagai balas budi Ibu Suri kepada Tjo Soe Kong, Ibu Suri pun memerintahkan kepada para pegawai di istana untuk membuat patung Tjo Soe Kong dari Kayu Cendana, yang kemudian dipuja dan dipergunakan untuk meminta keselamatan untuk Negara beserta rakyat-rakyat dan seluruh isi negeri. Sementara rakyat mengetahui hal ini, mereka menuruti teladan Ibu Suri sebagai tanda terimakasih kepada Tjo Soe Kong dengan membuat patung-patung Tjo Soe Kong dari bahan seperti kayu, batu, dll.
Disamping beliau menjadi pendeta, beliau juga dikenal sebagai orang yang suka bercocok tanam. Tjo Soe Kong meninggal ketika bertapa di lembah Ceng Sui Giam di Gunung Hong Lay San, dimana beliau kemudian wafat dalam keadaan bersila pada Ahala Song. Sepeninggal Tjo Soe Kong, salah satu Cucu dari Murid Tjo Soe Kong yang bernama Biauw In telah mendidik kurang lebih 70 pendeta untuk menyebarkan ajaran-ajaran Tjo Soe Kong ke seluruh penjuru Negeri. Oleh karena itu, tidak heran apabila bio-bio Tjo Soe Kong tersebar di berbagai Negeri, baik di Tiongkok maupun di Luar negeri termasuk Indonesia.
Klenteng Tjo Soe Kong terletak di Kawasan Tanjung Kait. Klenteng ini diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-18 atau tepatnya tahun 1792 oleh warga keturunan Tionghoa yang merupakan Imgran dari kabupatin Anxi, di Provinsi Hoxian China yaitu Inspektur Lim Tiang Pa yang merupakan orang China terkaya pada masa itu, beliau membeli tanah yang sekarang diatasnya dibangun Klenteng bernama Klenteng Tjo Soe Kong. Diperkirakan pada zaman kaisar Yong Ceh bertahta 2 tahun atau tarich Masehi 1724, kedua murid dari Tjo Soe Kong yang bernama Lauw Su Cun dan Jauw Yu Beng membuat bio dari bahan kayu dan bambu di desa Tanjung Kait. Ketika itu keduanya membawa patung Tjo Soe Kong dan meletakannya didalam bio tersebut. Di dalam lingkungan Klenteng ini pun terdapat sebuah sumur yang digunakan untuk kepentingan Klenteng dan keperluan ibadah umat Budha. Sumur ini juga diyakini sebagai tempat berdiamnya Dewa Naga air atau Dewa Rezeki. Imgran China ini kemudian membuka perkebunan tebu di Tanjung Kait, tapi kini perkebunan tersebut sudah tidak ada lagi. Andries Teisseire dalam bukunya Chinese Epigrapic Materials in Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun 1792 klenteng ini sudah ada dan setiap tahun diakhir bulan November dan permulaan Desember selalu dirayakan oleh masyarakat setempat dan sekitarnya (Tangerang, Batavia). Dengan dihadiri oleh sekitar 100 orang pengunjung. Dahulu di Tanjung Kait ini pun ada sebuah kota kecil bernama “Tuasiah”. Yang kini sudah tidak ada lagi karena terjadi abrasi sekitar 200 M dari bibir pantai awal.
Ketika pada tahun 1883 M Gunung Krakatau dan gelombang tsunami melanda seluruh wilayah pantai di Wilayah Lampung dan Banten, beberapa desa tenggelam seperti Ds.Keramat, namun Ds.Ketapang dan Ds.Tanjung Kait tempat Klenteng Tjo Soe Kong berada dilanda banjir tetapi tidak sampai menghanyutkan. Pada waktu itu banyak warga yang mengungsi ke Klenteng Tjo Soe Kong ini, karena konon kabarnya gelombang tsunami tidak masuk ke dalam klenteng.
B. Filosofi dan arsitektur bangunan Klenteng Tjo Soe Kong
Menurut Juru Kunci Klenteng Tjo Soe Kong yang bernama Ko Anchi, arsitektur bangunan lebih mengarah pada kebudayaan bangsa Tiong Hoa karena pembangunan awal klenteng ini dibangun oleh orang China itu sendiri. Adapun renovasi yang dilakukan dibantu oleh arsitek – arsitek yang berasal dari China.
Beliaupun menuturkan bahwa Klenteng Tso Soe Kong ini menghadap ke Barat Laut karena memang posisinya berada di pesisir pantai. Selain itu pula tidak ada arti atau filosofi tertentu dari bangunan tersebut.
Didinding Klenteng ini terdapat tulisan – tulisan China yang merupakan sebagai pengingat untuk para umat Budha agar selalu menjaga kebersihan diri maupun tempat ibadah. Memang terdapat beberapa patung dan lambang Yin Yang sebagai pengingat untuk Umat Budha agar menjauhi perbuatan buruk dan selalu melakukan kebaikan
C. Fungsi dan perkembangan Klenteng Tjo Soe Kong
Menurut narasumber, awal berdirinya Klenteng Tjo Soe Kong pada tahun 1792 ini kondisi bangunanya masih sederhana seperti rumah biasa yang terbuat dari kayu-kayu dan bambu-bambu yang beratapkan daun kelapa. Disamping Klenteng Tjo Soe Kong pula Ada Klenteng Kong Cho Hok Tek Ceng Sin didalamnya terdapat makam Mba Rahman (sesepuh Tanjung Kait yang sangat berpengaruh dilingkungan masyarakat Tanjung Kait) dan Makam Mpo Dato yang di yakini sebagai dewa Samudra atau dewa laut oleh Umat Budha. Klenteng ini dibangun berbarengan dengan Klenteng Tjo Soe Kong tapi Klenteng ini masih masuk ke dalam kawasan Klenteng Tjo Soe Kong. Namun seiring berjalannya waktu, banyak orang dari luar kota mengunjungi Klenteng Tjo Soe Kong ini. Sehingga menggerakan hati mereka untuk memperbaiki dan merenovasi bangunan Klenteng.
Renovasi pertama dilakukan pasca kemerdekaan, namun kondisi bangunanmasih sederhana hanya saja lebih rapih dari sebelumnya. Renovasi ke dua dilakukan pada tanggal 21 Maret 1959 atau 13 Djigwe 2510. Renovasi kedua ini merupakan Renovasi besar-besaran karena banyaknya aspirasi seperti donasi atau sumbangan dari masyarakat Tiong Hoa sendiri, sehingga renovasi kedua ini dapat membangun kembali Klenteng Tjo Soe Kong dan terlihat lebih rapih seperti yang dapat kita lihat pada era sekarang ini, selang kurang lebih 1 atau 2 tahun dibangunlah ruangan tengah sebagai tempat yang biasa digunakan untuk acara kebaktian dan Ruang Dharma Sala atau yang biasa disebut sebagai ruangan Dewa-Dewi dimana didalamnya berisi lukisan dewayang berjumlah 13 Dewa dan patung-patung Dewa atau bisa disebut5 Artar. Luas bangunan ini sekitar 9 Hektar, bahkan terdapat kebun yang ditanami beberapa tanaman seperti pohon serikaya yang buahnya digunakan untuk acara besar keagaman dan tepatnya disamping klenteng utama pula terdapat taman tempat untuk para pengunjung melepaskan rasa lelah ketika diperjalanan.
Fungsi dari Klenteng ini hanya sebagai tempat ibadah dan berkumpulnya umat Budha pada hari – hari besar Budha, bahkan sekitar tahun 1970-1990. Kleteng ini ramai dikunjungi orang-orang dari luar kota, mulai dari orang-orang dipulau jawa dan orang yang diluar pulau Jawa seperti Sumatra, Palembang, Medan dan Nias. bahkan orang dari luar negeri seperti orang India, ikut berkunjung ke Klenteng ini untuk beribadah. Namun sekitar tahun 1990 Klenteng ini sudah mulai sepi dikunjungi orang, menurut Ko Anchi karena masyarakat banyak yang berpindah keyakinan bahkan lebih memilih untuk ke Gereja dan Vihara dibandingkan ke Kelenteng.
Seiring berjalannya waktu, Klenteng ini mulai diperhatikan oleh pemerintah daerah di Provinsi Banten karena merupakan tempat bersejarah sekaligus termasuk bangunan tua yang ada di Banten. Untuk itu pemerintah daerah menyatakan bahwa Klenteng ini menjadi cagar budaya Prov.Banten dan dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Maka dapat disimpulkan Klenteng Tjo Soe Kong merupakan Klenteng tertua di Banten, yang berdiri pada tahun 1792 di Tanjung Kait. Oleh Imgran asal Kabupaten Anxi di Prov. Hoxian, China. Klenteng ini masih berdiri sampai sekarang karena selalu ramai dikunjungi oleh para umat Budha apa lagi pada hari-hari besar. Seiring berjalannya waktu klenteng ini terus diperbaiki dan direnovasi hingga bangunannya rapih dan bagus seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. Bahkan menurut Ko Anchi yang merupakan juru kunci Klenteng Tjo Soe Kong inibahwa luas tanah Klenteng ini mencapai 9 Hektar.
Walaupun klenteng ini sudah menjadi situs cagar budaya, fungsi klenteng ini tetaplah sama yaitu menjadi tempat untuk ibadah umat Budha di seluruh Indonesia khususnya di Provinsi Banten.